Gamapi

Dipublikasikan pada 2 Oktober 2022

Penulis: Sonia Nuramalia Turohmah

Penyunting: Achmad Hanif Imaduddin


Sejarah Kelam pun Tak Boleh Dilupakan

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

Ucapan di atas merupakan ungkapan terkenal yang kerap digunakan agar setiap orang di Indonesia tidak pernah melupakan sejarah pendirian bangsa ini, termasuk sejarah-sejarah “gelap” yang sering kali dilupakan. Salah satu contohnya adalah sejarah ihwal G30S atau Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut menjadi catatan kelam yang setidaknya pernah didengar oleh warga negara Indonesia sekali dalam seumur hidup.

Setelah percobaan kudeta pada malam 30 September 1965, pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Soeharto dan didominasi oleh tentara memiliki misi untuk memusnahkan saingan politik utamanya, yaitu para anggota dan afiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan itu, kekerasan massal yang melanda Indonesia pada bulan-bulan berikutnya mengakibatkan kematian ratusan ribu orang dan pemenjaraan politik lebih dari satu juta orang. Pembunuhan massal ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai genosida terhadap kelompok sosial politik di abad kedua puluh yang jarang dianggap sebagai genosida (Wieringa et al., 2019).

Kejadian 1965 – 1966 yang telah berlalu selama lebih dari setengah abad tersebut bertahan kuat menjadi periode gelap yang tidak diakui dan tidak diperbaiki dalam sejarah Indonesia. Elite politik Indonesia seolah tutup mata dan tidak menunjukkan keinginan untuk menyelesaikan polemik pelanggaran Hak Asasi Manusia alias HAM berat di masa lalu. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi ini seolah-olah ditoleransi karena korban dianggap sebagai musuh ideologis sehingga pantas mati tanpa nama dan dihukum tanpa proses pengadilan yang sah. Bukan hanya itu, ideologi komunisme yang menjadi ideologi partai PKI pun kini dianggap sebagai bahaya laten yang perlu dibumihanguskan. Hal tersebut tertera dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 yang berisikan pembubaran PKI serta larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham dan ajaran komunisme dan sejenisnya.


Yang Dilupakan dari Sejarah Kelam

Namun, sejauh ini, pemerintah masih fokus pada pelarangan dan ketakutan terhadap bangkitnya ideologi dan kelompok yang dinilai menjadi dalang di balik peristiwa tersebut. Padahal ada satu aspek yang sangat penting dan jarang tersentuh oleh pemerintah, yakni pemberian keadilan bagi korban genosida yang bahkan pemerintah tak akui. Ironisnya, Indonesia justru terlibat dalam banyak kegiatan yang menuntut untuk berperan sebagai promotor HAM dan demokrasi. Keaktifan Indonesia di level internasional sayangnya tidak sejalan dengan implementasi kebijakan dan promosi nilai di tingkat nasional. Bahkan, Indonesia dipandang sebagai negara yang melindungi rezim kejam dari tekanan internasional (Karim, 2020).

Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih setia mempertahankan komitmen untuk melarang komunisme dan segala hal yang berkaitan dengan ideologi tersebut. Akan tetapi, pemerintah lalai dalam mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di negeri sendiri. Padahal, sebagai negara demokrasi, Indonesia perlu mewujudkan kebebasan berpolitik, supremasi hukum, dan kebebasan serta supremasi sipil, termasuk nilai-nilai HAM. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk memberikan inisiasi dan dorongan pada pemerintah untuk segera memberikan kejelasan terkait dosa-dosa HAM berat di masa lampau (Fernida, 2014). Lantas, apa strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan aksi nyata dalam penanganan kasus HAM berat?


Strategi Menyucikan Dosa-Dosa Pemerintah

Saat ini, pemerintah memerlukan upaya transformatif guna mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM berat di masa lalu dengan melibatkan warga negara (Hearman, 2018). Upaya ini setidaknya perlu mempertimbangkan bentuk-bentuk pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi secara komprehensif dan nyata. Tuntutan tersebut dibuat untuk mengatasi diskriminasi hukum dan politik yang berlangsung kepada mereka yang diberi label “komunisme”. Padahal, pengembangan dan pemikiran terhadap paham komunisme juga merupakan bentuk kebebasan berpikir sebagai hak dasar manusia.

Sementara itu, pola keadilan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di masa lalu sampai saat ini belum meninggalkan banyak harapan untuk tercapainya keadilan atau rekonsiliasi yang berarti bagi para penyintas kasus-kasus pelanggaran HAM (Evanty & Pohlman, 2018). Mekanisme yang paling sering dibahas adalah proses peradilan, pencarian kebenaran, reparasi, dan reformasi kelembagaan dalam bentuk rekonsiliasi (Wahyuningroem, 2019).

Dari banyak metode yang dapat dilakukan, Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan strategi never to forget but to forgive. Esensi dari strategi ini adalah menyampaikan kebenaran kepada publik ihwal pelanggaran yang terjadi dan memberikan ampunan atau hukuman yang setimpal kepada para pelaku (Daud et al., 2019). Strategi ini tergolong keputusan terbaik sebab tidak melupakan hak korban dan tidak memberikan peluang bagi pemerintah untuk menyelewengkan sejarah di masa depan. Selain itu, strategi ini menjadi cara paling realistis mengingat pelaku kejahatan HAM di masa lalu sulit dilacak dan diadili karena waktu kejadian yang sudah berlalu terlalu lama. Dengan demikian, langkah pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah mengakui pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lampau sebagai kejadian yang memang terjadi nyata adanya.

Kemudian, guna menegakkan perlindungan HAM pada masa mendatang, keterlibatan masyarakat sipil melalui organisasi, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), perlu ditingkatkan untuk membersamai peran Komnas HAM dan Jaksa Agung. Keterlibatan ini menjadi simbol sekaligus aksi nyata perwakilan masyarakat dalam mengadvokasi dan memantau persoalan HAM di Indonesia. Dengan demikian, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sangat dimungkinkan untuk melibatkan banyak entitas, seperti pemerintah daerah, inisiasi warga, ataupun komunitas lain.


Epilog Reflektif

Ketakutan Pemerintah Indonesia akan bangkitnya ideologi tertentu sudah seharusnya tidak menjadi alasan normalisasi kejahatan HAM berat masa lalu yang benar adanya. Perlu digarisbawahi bahwa penulis bukan berarti terjebak dalam paradigma masa lalu dan lupa mengenai apa yang ada di depan. Akan tetapi, sangat perlu menjadi catatan bahwa negara tidak boleh lupa akan kewajibannya untuk memperbaiki dan menyucikan dosa-dosanya di masa lalu. Peristiwa bersejarah mungkin memang tidak akan terulang kembali secara sama persis, tetapi bukan tidak mungkin ada peristiwa serupa yang memiliki pola sama. Oleh karena itu, diperlukan komitmen tinggi dan aksi nyata dari negara untuk melindungi HAM rakyatnya tanpa terkecuali.


Opini versi PDF dapat diunduh di bawah

Loader Loading…
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Unduh [104.98 KB]


Daftar Referensi

Daud, B. S., Serikat, N., & Jaya, P. (2019). Penyelesaian Masalah Hak Asasi Manusia Masa Lalu dan Rekonsiliasi Nasional di Indonesia. Pandecta, 13(December), 83–90.

Evanty, N., & Pohlman, A. (2018). After 1965: Legal Matters for Justice? The Indonesian Genocide of 1965, 311–334. https://doi.org/10.1007/978-3-319-71455-4_16

Fernida, I. (2014). Calling for truth about mass killings of 1965/6: Civil society initiatives in revealing the truth of mass killings of 1965/6 under the transitional justice framework in Indonesia (Nomor August). University of Oslo.

Hearman, V. (2018). Between citizenship and human rights: the struggle for justice after Indonesia’s 1965 mass violence. Citizenship Studies, 22(2), 175–190. https://doi.org/10.1080/13621025.2018.1445492

Categories: Opini dan Wawasan