Gamapi

Penulis:  Edhita Berlianditta & Salsabila Zeta Zain


Jagat media sosial baru-baru ini ramai dengan berita virtual police yang mulai bertugas per 19 Februari 2021 di Indonesia. Melalui surat edaran bernomor SE/2/11/2021, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mendeklarasikan pemberlakuan virtual police. Kebijakan ini berdiri di atas pertimbangan perkembangan kondisi nasional pasca penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disinyalir tidak selaras dengan hak kebebasan berekspresi dalam ranah digital.1 Hal ini dibuktikan dengan tingkat kebebasan berinternet Indonesia yang cukup rendah dengan nilai indeks 49/100 (bebas sebagian).

Sejatinya, virtual police dipilih sebagai langkah preventif dalam rangka mengedukasi dan melindungi masyarakat dari potensi tindak pidana akibat ketidakpastian hukum pasal karet UU ITE. Namun, UU ITE sebagai landasan hukum virtual police nyatanya masih dinilai prematur dan rentan. UU ITE yang berlaku sejak 2008 telah menjerat masyarakat dengan pasalpasal karetnya. Terbukti hingga Januari 2020, terdapat 900 kasus netizen yang terjerat UU ITE dengan pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan atau pencemaran nama baik secara daring sebagai pasal hukum terbanyak yang dituduhkan.3 Bahkan, jurnalis pun menjadi salah satu pihak yang paling banyak terjerat kasus UU ITE. Hal ini menimbulkan kontroversi mengingat mudahnya masyarakat tersandung hukuman pidana.

Kebijakan pengesahan virtual police semakin kontroversial karena Revisi UU ITE tidak terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 20214. Keputusan tersebut menimbulkan diskursus publik sebab landasan hukum yang dipakai virtual police dalam tataran operasional adalah UU ITE itu sendiri. Lantas timbul berbagai pertanyaan yang bermuara pada anggapan bahwa pembentukan virtual police adalah keputusan gegabah sehingga kinerjanya selalu dipertanyakan, keabsahan pasal penjeratnya diragukan.

Pihak kepolisian Republik Indonesia bermaksud membentuk virtual police sebagai bentuk implementasi restorative justice (keadilan restoratif), sebuah bentuk penyelesaian perkara yang berbeda dari yang sistem retributive justice (keadilan retributif) yang umumnya berlaku di Indonesia. 5 Secara sederhana, sistem keadilan retributif tidak mengakui adanya peran pihak ketiga dalam menentukan hukuman bagi pelaku (Satria, 2017). Dengan demikian, keadilan retributif semata-mata berorientasi pada pemberian hukuman dan pembalasan sebagai konsekuensi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (Saulnier & Sivasubramaniam, 2015; Esther, 2020). Sedangkan, keadilan restoratif sebagai pendekatan modern dalam proses penyelesaian perkara berorientasi pada penyelesaian masalah dan pemulihan kondisi pasca perkara, bukan pada hukuman (Saulnier & Sivasubramaniam, 2015). Dalam prosesnya, sistem ini melibatkan pihak-pihak terdampak, baik pihak pelaku maupun korban. Sehingga, proses penyelesaian perkara tidak hanya menitikberatkan pada hukuman bagi pelaku, tetapi turut mengakomodasi kepentingan bilateral (Braithwaite, 2000). Sayangnya, terdapat kelemahan yang berpotensi mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan restoratif, yakni bias relasi (Saulnier & Sivasubramaniam, 2015).

Problematika Virtual Police: Tegas atau Ngegas?

Kehadiran virtual police dalam ruang digital tentu menimbulkan berbagai pertanyaan, khususnya terkait dengan peran dan fungsi dari virtual police itu sendiri. Muncul asumsi bahwa eksistensi virtual police pada ruang digital akan menciptakan jurang pemisah antara pemerintah dan masyarakat, di mana masyarakat akan merasa takut untuk menyatakan pendapat dan melakukan kritik terhadap pemerintah di ruang digital. Perlu diketahui bahwa ruang digital merupakan salah satu ruang publik yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyuarakan pendapat, terutama dalam menyampaikan komentar kepada pemerintah. Dalam hal ini, ruang publik bisa diartikan sebagai kekuatan baru dalam menyeimbangkan dan mengkritisi kebijakan yang merupakan produk otoritas yang berkuasa (Nasrullah, 2015).

Public sphere berdasarkan pemikiran Habermas (1989), merupakan sebuah ruang dimana terdapat kebebasan dari intervensi dan orang didalamnya terbebas dari pengaruh luar (terutama dari negara dan pemerintah). Hal ini juga berarti bahwa dalam ruang publik, pemerintah maupun negara tidak dapat mengatur apalagi membatasi warganya dalam berpendapat di ruang publik (Habermas dalam Cassegard, 2014). Bagi Habermas, ranah publik adalah ranahnya validitas yang ditentukan oleh “penggunaan publik atas alasan publik itu sendiri” dan di mana warga negara datang bersama-sama untuk tujuan pembentukan kemauan politik melalui debat dan manifestasi argumen, sudut pandang, dan klaim (Habermas, 1989, halaman 24–28; lihat juga 1996, halaman 359–367). Ruang publik semestinya berfungsi sebagai suatu ruang yang dapat merumuskan keputusan publik dan terjadi diskusi serta pendapat tentang kepentingan publik (public interest) antara pengambil kebijakan (pemerintah) dengan para pelaku sosial, termasuk masyarakat . Dengan demikian jelas bahwa pendapat yang diutarakan masyarakat melalui media apapun, akan sangat penting bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan. 

Namun, keberadaan virtual police melahirkan keresahan pada hilangnya jaminan atas public sphere itu sendiri. Kesenjangan relasi dan komunikasi pemerintah-masyarakat tercipta apabila tindakan represif mendominasi sisi praktikal virtual police. Masyarakat cenderung takut berkomentar, sehingga pemerintah tidak mampu memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ruang digital yang inklusif terhadap diskusi dan penyampaian pesan tidak lagi memberi kesempatan untuk asas bebas berpendapat. Hal ini dapat memicu munculnya public distrust karena pesan yang diberikan masyarakat kepada pemerintah seringkali tidak sampai, sehingga kebijakan dan program yang diambil oleh pemerintah seringkali tidak tepat sasaran dan kurang memberi manfaat bagi masyarakat.

Media sosial sebagai bagian dari ruang digital, berada dalam lingkup ruang publik yang bersifat inklusif, sehingga berapapun eksklusifnya publik dalam kasus tertentu, di dalam ruang publik ia merupakan bagian dari kelompok tersebut. Namun begitupun, distingsi pengaruh dan kuasa di media sosial tidak berbeda jauh dengan dunia nyata, di mana tokoh publik yang memiliki pengikut lebih banyak memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menghadapi serangan komentar netizen. Kerap kali dalam sebuah kasus yang terjadi di media sosial, dimana melibatkan masyarakat dan tokoh politik atau orang yang memiliki power (kekuatan dan kekuasaan) yang dominan di dalamnya akan menimbulkan kesenjangan lainnya. Ketika seseorang tanpa power dihadapkan sosok dengan power lebih besar dalam sebuah kasus di dunia digital, maka dapat dipastikan sosok tersebut akan dimenangkan oleh orang dengan power yang mendominasi. Apabila virtual police turut bekerja dalam penyelesaian masalah seperti diatas, maka yang dipertanyakan adalah objektivitas virtual police dalam memberi putusan. Hal ini jelas menjadi keraguan publik karena hukum ‘tumpul keatas tajam kebawah’ berpotensi untuk terpenetrasi ke ranah penegakan hukum di media sosial. Jangan sampai media sosial sebagai public sphere menghilangkan adanya privilege dalam tiap individu, sebab setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kesetaraan atas proses berpendapat.

Selain hilangnya esensi public sphere di media sosial, keterbatasan virtual police dalam menangani akun bodong atau anonymous yang meresahkan media sosial juga mewarnai diskursus publik. Berbagai kasus dengan topik sensitif yang melibatkan masyarakat dengan akun-akun anonymous seringkali terjadi. Namun dengan bersembunyi di balik akun tersebut, para pelaku bisa berlindung dari kejaran virtual police yang nantinya akan beroperasi. Virtual police dalam menjatuhkan hukuman pidana berpotensi tidak tepat sasaran, yang semakin menurunkan kepercayaan publik dengan kinerja mereka. Penyelesaian masalah pun tidak terlaksana dengan baik yang bermuara pada tidak adanya perbedaan keamanan bemedia sosial antara sebelum dan setelah munculnya virtual police ini.

Titik lemah virtual police dalam tahap operasional adalah ketidakpastian dasar hukum yang dijadikan landasan kerja para street level bureaucrat nantinya. Perlu ditegaskan lagi bahwa UU ITE sampai saat ini masih sangat prematur untuk dijadikan landasan penegakan hukum. Regulasi dan aparat yang seharusnya memberi perlindungan bisa menjadi lawan utama netizen dan semakin memperburuk citra virtual police di mata publik. Apabila pasal karet tidak dibahas secepatnya, maka virtual police juga berpotensi menegakkan hukum secara semenamena dan gagal menetapkan keadilan di dunia digital.

Penutup

Keputusan pengesahan virtual police terkesan responsif namun tidak solutif. Kebijakan yang cukup hijau ini berdiri di atas dasar hukum yang masih prematur. Peran dan esensi dari eksistensi virtual police justru menimbulkan tanda tanya publik dan memicu munculnya permasalahan lain. Sistem keadilan restoratif yang dicita-citakan memberi keadilan justru berpeluang gagal karena landasan UU ITE tidak menjadi prioritas pemerintah untuk dibahas lebih rinci. Pelanggaran kebebasan berpendapat, hukum salah sasaran, hingga pembungkaman publik menjadi muara dari pembatasan ruang publik tanpa landasan hukum yang tegas. Dengan kata lain, tanpa adanya perhatian khusus pada Revisi UU ITE, maka operasional virtual police tidak akan mengundang kenyamanan dan kepercayaan publik.


DAFTAR PUSTAKA

Artikel Jurnal

Asri, R. (n.d.). Ekspresi Kebebasan Berpendapat di Media Sosial: Telaah Kritis Ruang Publik
Habermas. Ruang Publik dan Demokrasi yang Sehat.
Braithwaite, J. (2000). Shame and criminal justice. Canadian Journal of Criminology,
281–298.
Cassegård, C. (2014). Contestation and Bracketing: The Relation between Public Space and
the Public Sphere. Environment and Planning D: Society and Space, 32(4), 689–703.
https://doi.org/10.1068/d13011p
Esther. (2020, July 15). Bedakan Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif. Retrieved from
Law Go:
https://lawgo.id/learning/article/beadakan-keadlian-retributif-keadilan-restoratif
Fatah, Z., & Fatanti, M. N. (2019). Mempolitisasi Ruang Virtual: Posisi Warga-Net dalam
Praktik Demokrasi Digital di Indonesia. Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan
Kebijakan Sosial, 3(1), 306-326.
Habermas J, 1989 The Structural Transformation of the Public Sphere (MIT Press, Cambridge,
MA)
Nasrullah, R. (2015). Internet dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi atas Teori Ruang
Publik Habermas. Komunikator, 4(01).
Satria, H. (2018). RESTORATIVE JUSTICE: PARADIGMA BARU PERADILAN
PIDANA. Jurnal Media Hukum, 25(1), 111–123.
https://doi.org/10.18196/jmh.2018.0107.111-123
Saulnier, A., & Sivasubramaniam, D. (2015). Restorative Justice: Underlying Mechanisms
and Future Directions. New Criminal Law Review: An International and
Interdisciplinary Journal, 510-536.

Situs Web dan/atau Berita

CNN Indonesia. (2021, Maret 9). Revisi UU ITE Tidak Masuk Prioritas Prolegnas 2021.
Diakses pada 14 Maret 2021 melalui Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas Prioritas
2021 (cnnindonesia.com)
Esther. (2020, Juli 15). Bedakan Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif. Diakses pada 15
Maret 2021 melalui Bedakan Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif (lawgo.id).
Freedom House. (2021). Freedom on Net Indonesia 2020. Diakses pada 15 Maret 2021
melalui https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-net/2020
Korlantas Polri. (2021, Februari 21). Kapolri Terbitkan Surat Edaran Terkait Pedoman
Penanganan Laporan UU ITE. Diakses pada 11 Maret 2021 melalui Kapolri Terbitkan
Surat Edaran Terkait Pedoman Penanganan Laporan UU ITE – Korlantas Polri | Call
Center : 1500669 | SMS Center : 9112
SAFENet. (2021). Daftar Kasus Netizen yang Terjerat UU ITE. Diakses pada 11 Maret 2021
melalui Daftar Kasus Netizen yang Terjerat UU ITE – SAFEnet

Categories: Kajian