Gamapi

Penulis: Fatimah Nur Hasanah, Achmad Hanif Imaduddin, danRuth Caroline C. Manullang

Balada Pembangunan Menyisakan Penderitaan

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebuah provinsi yang identik dengan keistimewaan budaya, masyarakat, dan kesederhanaannya. Banyak pendatang dengan tujuan sekadar berlibur, menimba ilmu, atau menetap. Tidak dapat disangkal bahwa Yogyakarta menyediakan berbagai fasilitas mulai dari harga termurah yang bisa diakses pelajar dan mahasiswa hingga kualitas bintang lima dengan harga yang sebanding pula. Dengan kata lain, masyarakat berbagai kelas memiliki tempat di Provinsi DIY untuk menikmati setiap sudutnya yang istimewa.

Tak heran apabila Provinsi Yogyakarta menyabet banyak penghargaan setiap tahunnya. Pada 2019, Yogyakarta menerima delapan penghargaan dari The Asia Post. Adapun dua penghargaan yang diraih Yogyakarta adalah Provinsi dengan Kondisi Pariwisata Terbaik dan Tingkat Pertumbuhan Fiskal Terbaik. Peningkatan pertumbuhan ini dibuktikan dengan tingginya pembangunan fisik dan masuknya investasi ke Yogyakarta. Kendati demikian, kisah manis Yogyakarta menyisakan sisi gelap di belakangnya. Faktanya, keterbukaan Yogyakarta melalui bidang ekonomi dan pariwisata tidak berhasil mengatasi masalah ketimpangan. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat bahwa angka ketimpangan DIY sebesar 0,428 berdasarkan koefisien gini dan terus bertambah besar hingga 2021. Angka tersebut menempatkan Yogyakarta pada urutan pertama dengan angka koefisien gini tertinggi dibanding provinsi lain di Indonesia. 

Adanya ketimpangan tersebut menjadi bukti nyata eksistensi gentrifikasi di Yogyakarta. Secara sederhana, gentrifikasi merupakan  fenomena akibat adanya proses peningkatan penduduk pada suatu daerah yang menarik perhatian masyarakat golongan kaya sehingga menstimulasi kenaikan harga properti yang harganya di luar jangkauan masyarakat asli daerah tersebut (Medha & Ariastita, 2015:1). Implikasinya adalah kerentanan masyarakat untuk terusir dari daerah huniannya dan bermuara pada ketimpangan ekonomi dan sosial. Gentrifikasi jelas merupakan fenomena yang mengancam eksistensi penduduk asli yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dinamis di daerahnya. Lantas, bagaimana sebenarnya gentrifikasi bisa lahir di Yogyakarta? Dan, seperti apa instrumen kebijakan yang melanggengkan gentrifikasi tersebut? Berikut adalah ulasannya.

Menyelisik Makna Gentrifikasi

Pada dasarnya, definisi gentrifikasi masih sering kali diperdebatkan, khususnya dalam konteks pembangunan dan perekonomian (Pratiyudha, 2019). Mulanya, frasa gentrifikasi diperkenalkan oleh Ruth Glass pada tahun 1964 untuk menggambarkan hunian kelas pekerja yang diinvasi oleh golongan menengah ke atas di London (Less et al, 2008). Glass menemukan bahwa terusirnya penduduk semula karena penduduk yang datang lebih mampu secara ekonomi sehingga berdampak pada kenaikan nilai kawasan dan penduduk semula gelagapan dalam menyesuaikan diri. Lebih lanjut, Glass memandang gentrifikasi sebagai fenomena ketidakadilan kelas sosial yang tercipta karena adanya kapitalisme pasar di kawasan perkotaan.

Argumentasi Glass senada dengan Redfern (2003) dalam Medha (2017) yang memaparkan bahwa gentrifikasi merupakan pergeseran kelas sosial menengah ke atas terhadap kelas sosial bawah karena gagalnya komunikasi antar kedua kelas. Artinya, banyak golongan kelas sosial bawah yang merasa tidak nyaman dan tidak mampu untuk tinggal dalam kawasan yang sama dengan golongan kelas sosial menengah ke atas. Oleh karena itu, penghuni semula (kelas sosial bawah) berpotensi tergantikan seutuhnya karena harga pajak dan properti yang melambung tinggi sehingga penghuni semula memilih untuk meninggalkan kawasannya (Keating, 2000, dalam Medha, 2017). Maka dari itu, pembahasan gentrifikasi terkadang tidak lepas pada kemungkinan untuk kehilangan tempat tinggal (tunawisma) akibat ketidakmampuan dalam menanggung biaya hidup yang tinggi (Pineda, 2017)

Dalam konteks permasalahan gentrifikasi di Yogyakarta, masyarakat kelas sosial bawah digambarkan sebagai penduduk asli Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta merupakan UMP terkecil di Indonesia hanya sekitar 1,7 juta sedangkan pengeluaran rata-rata per kapita masyarakatnya mencapai sekitar 1,4 juta (Larasati, 2020; Novika, 2020). Dengan kata lain, rerata masyarakat Yogyakarta hanya memiliki modal 300 ribu untuk dijadikan sebagai tabungan masa depan dan dana tak terduga. Sementara itu, masyarakat kelas sosial menengah ke atas digambarkan sebagai pelajar atau mahasiswa perantauan dan orang-orang luar DIY yang berniat untuk berlibur atau menetap di Yogyakarta. Kehadiran para pendatang ini dipengaruhi oleh daya tarik pariwisata dan pendidikan yang dimiliki Yogyakarta (Widianto & Keban, 2020).

Oleh karena itu, mengingat bahwa Yogyakarta merupakan pemilik UMP terendah, acap kali para pendatang memiliki kondisi perekonomian yang lebih tinggi daripada penduduk asli Yogyakarta. Alhasil, fenomena tersebut memicu kondisi perekonomian dan sosial yang timpang di Yogyakarta. Ketimpangan ini dapat disebabkan oleh harga-harga properti dan hunian yang semakin mahal ataupun gaya hidup yang berbeda. Lebih lanjut, dampak dari gentrifikasi akan dibahas secara  mendalam pada subbab berikutnya.

Gentrifikasi: Antara Positif dan Negatif

Datangnya gentrifies (orang-orang yang melakukan gentrifikasi) yang membawa modal ke Yogyakarta menimbulkan beberapa dampak positif bagi perkembangan Kota Yogyakarta. Misalnya, lapangan pekerjaan yang hadir mulai beragam, fasilitas publik mulai mudah ditemui, dan kebudayaan cenderung lebih terbuka. Byerne (2003) dalam Widianto dan Keban (2020) meyakini bahwa gentrifikasi menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Pusat seni, pusat kebudayaan, wahana hiburan, hotel, dan mal-mal yang ada akan menyerap banyak tenaga kerja. Gentrifikasi juga meningkatkan pemasukan pemerintah dalam sektor pajak atas bangunan eksklusif yang banyak dibangun (Medha dan Ariastita, 2017). 

Meskipun demikian, gentrifikasi hanya menghadirkan sedikit dampak positif dan menghadirkan lebih banyak dampak negatif. Beberapa dampak negatif tersebut, antara lain: 

1. Renewal (Pembaruan Tata Ruang)

Widianto dan Keban (2020) menyebutkan bahwa gentrifikasi dapat mengubah ruang yang awalnya kumuh menjadi tampak lebih baik secara fisik. Namun, tatanan ruang yang indah secara fisik ini menimbulkan beberapa hal negatif di baliknya. Misalnya, pembangunan hotel yang sering kali masih mengandalkan pengambilan air tanah dengan sumur resapan sehingga membatasi sumber mata air bagi masyarakat sekitar (Mongabay, 2015).

2. Displacement (Kurang Hunian Murah)

Displacement merupakan pergeseran hunian yang dilakukan oleh penduduk asli akibat tingginya harga properti. Masuknya golongan eksklusif dan kaya dalam pembangunan di Kota Yogyakarta mengakibatkan harga jual dan sewa hunian maupun tanah di kawasan tersebut meningkat sehingga menyusahkan daya beli penduduk asli (Hochstenbach & Musterd, 2016; Ortega, 2016; Pratiyudha, 2019 ).

3. Masalah Keadilan dan Ketimpangan

Gentrifikasi di Yogyakarta juga meminggirkan penduduk lokal di perkotaan. Kawasan padat perkotaan yang dipenuhi banguan-bangunan eksklusif tampak ramah di mata wisatawan dan kelompok kelas atas menimbulkan kesenjangan sosial serta ekonomi yang makin tinggi dan jelas bagi kaum bawah (Pratiyudha, 2019).

4. Konflik Sosial

Adanya pergeseran tata ruang kota cenderung memicu konflik antara masyarakat marginal dan kaum kalangan bawah dengan kaum kapitalis dan penguasa modal. Hak-hak kalangan 

bawah sering kali diakuisisi oleh kalangan atas. Lees et.al (2008) dalam Widianto dan Keban (2020) juga menyebutkan bahwa konflik bisa terjadi antara gentrifies dengan pemilik lahan dan kaum miskin kota dengan aktor-aktor yang tidak menyukai perlawanan dari masyarakat.

Celah Kebijakan dan Dilema Gentrifikasi di Yogyakarta

Sebagai upaya peningkatan realisasi investasi, pemerintah DIY melakukan deregulasi atau penyederhanaan peraturan untuk memudahkan masuknya modal melalui investasi. Hal ini terbukti dari adanya pembahasan mengenai review atas Peraturan Gubernur DIY Nomor 8 Tahun 2014 tentang Rencana Umum Penanaman Modal DIY dan review Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Penanaman Modal pada tahun 2019 oleh Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) bersama Pemerintah Daerah DIY. Kemudahan perizinan ini terbukti dengan ramainya pembangunan di daerah Yogyakarta sepanjang tahun 2019.

Kajian Fiskal Regional Yogyakarta yang diterbitkan oleh BPS melaporkan bahwa berbagai jenis pembangunan yang terjadi berhasil menyumbang investasi penanaman modal sebesar 6.298,8 miliar pada tahun 2019. Fenomena tersebut sejalan dengan banyaknya perusahaan konstruksi yang beroperasi di wilayah DIY. Pada tahun 2019, tercatat sebanyak 1.683 perusahaan, terdiri dari 1.195 perusahaan berskala kecil, 189 perusahaan berskala menengah, 4 perusahaan berskala besar, dan 295 perusahaan tanpa skala usaha melakukan konstruksi di DIY (Bappeda Jogja, 2021).

Sayangnya, berbagai pembangunan tersebut memicu ketimpangan melalui kenaikan harga tanah yang mengikuti tren pasar. Harga tanah yang tinggi juga menambah nilai ekonomis properti yang ujungnya hanya bisa dinikmati masyarakat menengah ke atas. Mirisnya, fasilitas bernilai tinggi ini semakin menjamur dan menandakan bahwa Si Kaya cenderung semakin diistimewakan di Yogyakarta. Sementara itu, kehidupan masyarakat lokal menengah ke bawah tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam peningkatan kualitas hidup dan pendapatan.

Adapun deregulasi yang dilaksanakan baru-baru ini adalah perihal perizinan investasi melalui Peraturan Gubernur DIY tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur DIY Nomor 8 Tahun 2014 tentang Rencana Umum Penanaman Modal yang ditetapkan pada Agustus 2020. Tujuan deregulasi ini adalah untuk mendongkrak roda perekonomian yang sempat mandek akibat pandemi COVID-19. Bagaimanapun, kemudahan perizinan ini membawa dilema yang mendalam dalam kaitannya dengan gentrifikasi. Pada satu sisi, kemudahan izin berpotensi membantu menghidupkan perekonomian selama pandemi COVID-19, tetapi disisi lain berpotensi menyuburkan ketimpangan di Yogyakarta.

Deregulasi ini, lagi-lagi, membuat DIY terjun kepada krisis ketimpangan yang lebih parah dan semakin dilanggengkan oleh faktor regulasi-struktural melalui instrumen kebijakan Provinsi DIY. Dengan adanya kemudahan izin investasi, maka pembangunan proyek raksasa akan semakin mudah beroperasi dan terwujud. Secara perlahan, pembangunan tersebut akan menghalangi masyarakat menengah ke bawah terhadap akses hunian, pekerjaan, dan fasilitas-fasilitas tertentu. Terhalangnya akses-akses tersebut juga menjadi pemicu adanya ketimpangan di masyarakat Yogyakarta.

Bahkan, mudahnya proses deregulasi terjadi dengan restu dari pemangku kebijakannya. Hal ini terbukti dari ungkapan Kepala DPPM DIY yang menganggap bahwa solusi bagi isu ketimpangan adalah dengan penyebaran investasi yang merata di berbagai kabupaten atau kota di DIY. Melalui pernyataan ini, dapat dilihat bahwa ketimpangan hanya dipandang sebagai isu ekonomi yang penyelesaian masalahnya difokuskan pada kemudahan perizinan terhadap peran investasi dan kaum kapital, bukan merupakan bagian dari krisis sosial. Perizinan yang seharusnya melindungi hak rakyat kini disederhanakan demi kemudahan para kapitalis. Tampak semakin jelas bahwa faktor struktural yang sudah mengakar telah melahirkan dan melanggengkan gentrifikasi yang mewarnai sistem kepublikan DIY.

Gentrifikasi, Bahaya Laten yang Tidak Disadari

Berkaca dari sudut pandang nasional, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung meremehkan permasalahan ekonomi seperti ketimpangan karena keprihatinan yang terbatas dikalahkan oleh optimisme tentang masa depan dan rasa percaya akan kesetaraan peluang dan mobilitas sosial yang tinggi (Pew Research Center, 2019). Maka dari itu, masyarakat Yogyakarta yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sangat berpeluang mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, kemungkinan, segala upaya yang dilakukan untuk menguraikan persoalan gentrifikasi sangat bergantung pada persepsi, sikap, dan kepercayaan masyarakat dalam memandang persoalan ini.

Uniknya, DIY menempati urutan ke delapan dalam indeks kebahagiaan dibandingkan provinsi lain di Indonesia (BPS, 2017), sekalipun kemiskinan dan ketimpangan terpampang nyata. Fakta tersebut mengejutkan dan memunculkan pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana bisa parahnya ketimpangan ekonomi di Yogyakarta yang salah satunya disebabkan oleh gentrifikasi justru kurang mendapatkan perhatian dan tidak disadari. Kemungkinan, hal ini menjadi penyebab jarangnya gerakan, aksi, ataupun sekadar wacana dalam menuntut pemerintah daerah untuk mengentaskan berbagai permasalahan ekonomi yang ada. Setidaknya ada dua argumen yang dibangun pada kajian ini yang kemungkinan merupakan penyebab mengapa masyarakat Yogyakarta miskin dan sangat timpang tetapi tetap bahagia.

Glorifikasi Kultur “Nrimo ing Pandum” dan Hubungan Masyarakat dengan Sultan

Yogyakarta merupakan daerah yang sangat kental akan budaya Jawa yang di dalamnya termanifestasi atribut tradisi budaya yang menjelma menjadi sebuah tata pemerintahan yang diakui konstitusi. Salah satu nilai budaya yang dihayati sebagai falsafah dan orientasi hidup masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta adalah “nrimo ing pandum”, yaitu sebuah ajaran untuk bersikap seimbang dan harmonis (Supriyadi et al, 2012). Nilai lain yang sering beririsan adalah masyarakat Yogyakarta sangat tunduk dan patuh terhadap Sultan. Raja atau Sultan digambarkan sebagai manusia yang senantiasa mengasuh masyarakat dalam konsep manunggaling kawula gusti yang terinternalisasi dan terjebak dalam benak masyarakat (Jaya, 2018). Alhasil, masyarakat sangat tunduk dan patuh kepada Sultan karena percaya bahwa Sultan adalah orang yang baik dan bijaksana sehingga pantas untuk mengasuh masyarakat. 

Meski demikian, studi oleh Jaya (2018) menemukan bahwa dukungan publik terhadap Sultan sudah tidak sekuat dan sekonsisten sebelumnya dan lebih bersifat dinamis sesuai kepentingan kelompok. Sebenarnya secara budaya tidak ada yang salah dalam hal menghayati “nrimo ing pandum” ataupun menghormati Sultan sebagai lambang budaya luhur. Namun, pada situasi tertentu, perkawinan misinterpretasi “nrimo ing pandum” memunculkan kondisi masyarakat yang pasif dan tidak memiliki kuasa untuk turut andil dalam praktik politik maupun memengaruhi kebijakan publik. Hal inilah yang bisa jadi menjadi faktor penyebab mengapa masyarakat Yogyakarta yang berada di pusaran kemiskinan dan ketimpangan akibat gentrifikasi justru tetap memiliki kebahagiaan yang tinggi.

Masyarakat Yogyakarta memang bukan tanpa gerakan, namun gerakan tersebut kebanyakan bersifat sporadis dan reaktif karena hanya muncul ketika ada proyek pembangunan yang bersengketa dengan masyarakat. Beberapa protes memang dilakukan oleh masyarakat, seperti protes terhadap pembangunan Apartemen Uttara The Icon pada 2015, protes warga Miliran terhadap pendirian Fave Hotel yang menyebabkan sumur warga Miliran mengering pada 2015, protes masyarakat Balirejo yang menolak pembangunan Apartemen Puri Notoprojo pada 2017 lalu, hingga isu pembangunan jalan tol Solo-Yogya yang menimbulkan kontroversi hingga kini. Hanya saja, belum ada gerakan lanjutan atau tuntutan yang benar-benar diperjuangkan hingga menjawab keresahan masyarakat DIY sejauh ini.

Cupetnya Informasi Permasalahan Sosial-Ekonomi

Hal yang tidak bisa dilupakan adalah masyarakat Yogyakarta juga berada pada situasi dan konteks masyarakat Indonesia yang minim pengetahuan tentang kondisi kemiskinan dan ketimpangan yang faktual terjadi tetapi sangat percaya pada mitos meritokrasi yang memosisikan kesuksesan ekonomi sebagai urusan kapasitas tiap individu dan abai terhadap permasalahan struktural yang menyelimuti, seperti korupsi dan lainnya (Mijs & Hoy, 2021). Penyebabnya adalah ketersediaan informasi faktual yang terbatas akibat transisi negara dari otokrasi ke demokrasi, pembatasan yang terus berlanjut pada kebebasan pers, dan rendahnya tingkat penetrasi Internet di 13.000 pulau yang membentuk kepulauan Indonesia (Austin, Barnard, and Hutcheon 2016; Freedom House 2018; World Bank 2017). Kurangnya pengetahuan akibat terbatasnya informasi inilah yang dapat berimplikasi pada tidak sadarnya masyarakat Yogyakarta terhadap permasalahan yang sedang terjadi.

Perlu dicatat bahwa kedua argumen yaitu kultur “Nrimo ing Pandum” dan hubungan masyarakat dengan Sultan serta minimnya informasi akan permasalahan sosial-ekonomi dibangun melalui hasil analisis penulis dari berbagai literatur yang multidisiplin. Meskipun demikian, argumen tersebut masih menyisakan ruang bagi penelitian kedepan untuk secara empiris dan spesifik mengkaji alasan mengapa terbentuk mentalitas masyarakat Yogyakarta yang tetap bahagia sekalipun permasalahan ekonomi menyelimutinya. Bagaimanapun, diperlukan riset yang secara spesifik dan mendalam membahas fenomena tersebut untuk menguatkan basis analisis bagi usaha akademis hingga praktik dalam menguraikan permasalahan sosial dan ekonomi di Yogyakarta.

Secercah Rekomendasi untuk Kebaikan

Gentrifikasi merupakan sebuah fenomena publik yang melibatkan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penyelesaiannya pun harus dikomunikasikan secara publik dengan baik. Langkah yang bisa diambil adalah mengakomodasi berbagai perspektif dan pertimbangan penyelesaian. Mulai dari perencanaan yang dilakukan harus dengan model dialog, partisipasi, kolaborasi, serta konsensus multi-sector (Sandercock, 1998; Medha dan Ariastita, 2017). Harapannya, upaya pengambilan kebijakan gentrifikasi bukan hanya menguntungkan satu belah pihak saja melainkan masyarakat lokal juga diberikan ruang untuk bersuara dan menjadi subjek kebijakan.

Yogyakarta, sebagai daerah istimewa, tentunya punya otonomi daerah yang istimewa. Gentrifikasi sebagai fenomena yang menimbulkan dampak terhadap tata ruang dan tanah di Yogyakarta tentunya bukan tidak mungkin untuk diselesaikan dengan keistimewaan Yogyakarta ini. Sultan Ground dan Pakualam Ground memiliki andil dan kewenangan dalam menentukan arah kebijakan dalam melakukan tata ruang dengan mempertimbangkan beberapa hal, salah satunya tanah Kasultanan dapat digunakan sebagai perlindungan hak sosial untuk kaum marginal (Hasim, 2016). Oleh karena kuasa banyak di tangan Kasultanan, pihak kesultanan harus mampu membuat kebijakan agraria yang merepresentasikan kepentingan dan keadilan sosial. Perencanaan dan penetapan tata ruang yang baik, menyediakan ruang kebudayaan, ruang ekonomi, ruang sosial masyarakat hingga ruang hijau demi kesejahteraan alam harus dipertimbangkan dengan baik dan pemikiran jangka panjang. Bukan hanya sebatas membangun gedung-gedung megah dengan fasilitas yang lengkap dan alasan Jogja Kota Istimewa, Jogja Berhati Damai yang hanya dijadikan sebatas citra publik semata dan menggeser bahkan menggusur kaum marginal.Selanjutnya, gentrifikasi bisa diselesaikan dengan cara right to the city atau penguatan hak atas kota masyarakat urban. Henry Lefebyre (2000) dalam Partiyudha (2019) menyebutkan bahwa kota merupakan sebuah ruang yang lahir dari adanya cry and demand di dalam konteks kemanusiaan guna mengubah, membentuk, dan memperbarui kehidupan kaum urban. Dalam rangka mewujudkan right to the city dapat ditempuh dengan penguatan advokasi terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Hal ini juga bisa dikuatkan dengan pendampingan komunitas,  pihak akademisi, gerakan mahasiswa, serta partisipasi masyarakat kota agar suara masyarakat mendapatkan dukungan dan kekuatan. Dan yang terakhir, Pemerintah Yogyakarta perlu untuk meninjau kembali aturannya secara cermat dan teliti berkaitan dengan perizinan pembangunan di daerahnya. Jangan sampai kemudahan regulasi pembangunan justru menjadi bumerang yang merugikan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Artikel Jurnal

Austin, A., Barnard, J., Hutcheon, N., & Parry, D. (2015). Media consumption forecasts 2015. https://communicateonline.me/wp-content/uploads/2016/06/Media-Consumption-Forecasts-2016.pdf

Bappeda Provinsi DIY. (2021). Jumlah Hotel Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses dari https://www.google.com/url?q=http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/cetak/212-jumlah-hotel&sa=D&source=editors&ust=1615830607530000&usg=AOvVaw0TU7GxOxTFWedlfhUXn8hO 

BPS. (2017). Indeks Kebahagiaan Menurut Provinsi 2014-2017. Badan Pusat Statistik. Diakses dari: https://www.bps.go.id/dynamictable/2017/05/04%2000:00:00/1243/indeks-kebahagiaan-menurut-provinsi-2014-2017.html

Casmini, C., & Sandiah, F. A. (2019). “Urip Iku Mung Mampir Ngombe”; Konsep Kebahagiaan Masyarakat Miskin Pesisir Yogyakarta di Era Industrialisasi. Jurnal Psikologi, 46(3), 226-240.

Freedom House. (2018). Freedom of the Press 2017: Press Freedom’s Dark Horizon. Washington, DC: Freedom House

Hasim, R. A. (2016). Politik hukum pengaturan sultan ground dalam undang-undang no. 13 tahun 2013 tentang keistimewaan Yogyakarta dan hukum tanah nasional. Arena Hukum, 9(2), 207-224.

Hudayana, I., & Nurhadi. (2020). Memaknai Realitas Kemiskinan Kultural di Pedesaan: Sebuah Pendekatan Partisipatoris. Journal of Social Development Studies, 1(1), 14-26.

Jaya, P. H. I. (2018). The dynamics of public support for the king in Yogyakarta. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 31(1), 84-93.

Less, L., Slater, T., & Wyly, E. (2008). Gentrification. London: Taylor & Francis Group

Medha, A. N., & Ariastita, P. G. (2017). Pandangan Terhadap Fenomena Gentrifikasi dan Hubungannya dengan Perencanaan Spasial. Jurnal Teknik ITS, 6(2). https://doi.org/10.12962/j23373539.v6i2.25056

Medha, A. N. (2017). Dukungan Modal Sosial dalam Membangun Kolektivitas Masyarakat untuk Beradaptasi Terhadap Fenomena Gentrifikasi di Kawasan Medokan Semampir [Undergraduate Theses, Institut Teknologi Sepuluh Nopember]. Research Direct. http://repository.its.ac.id/44260/1/3613100077-Undergraduate-Theses.pdf

Mijs, J. J., & Hoy, C. (2021). How Information about Inequality Impacts Belief in Meritocracy: Evidence from a Randomized Survey Experiment in Australia, Indonesia and Mexico. Social Problems.

Kuswaya, A. (2020). Misinterpretation of patience: an analytical study of nerimo concept within Indonesian Muslim society. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies., pp. 153-176, doi: 10.18326/ijims.v10i1. 153-176

Categories: Kajian